Sumber foto:Mongabay.co.id
Kupang,suarakarumput.com-Perwakilan beberapa tokoh masyarakat Wae Sano, di antaranya Herman Hemat, Mateldis Felni, Valentinus Emang, Ibu Maria Y. Haul, Stefanus Juma, dan Regina Tin melayangkan surat terbuka kebulatan sikap menolak proyek geotermal di Wae Sano. Selasa, (15/06/2021).
Surat Terbuka
Masyarakat Wae Sano, Kec. Sano Nggoang, Kab. Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
Kepada yang terhormat,
1. Sesama warga masyarakat Wae Sano, Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur, serta sesama warga pulau Flores.
2. Pimpinan Keuskupan Ruteng di Ruteng, Nusa Tenggara Timur
3. Pimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia cq. Kementerian-Kementerian dan Badan-Badan lain yang bertanggung-jawab penuh atas kesehatan dan keselamatan warga negara, ketahanan sosial ekologi serta kesejahteraan-energi, air, pangan terutama bagi kami
masyarakat perdesaan Indonesia.
Rakyat merdeka, berdaulat dan bertanggung-jawab atas kelangsungan, martabat dan kualitas kehidupannya!
Melalui surat terbuka ini, kami warga masyarakat Wae Sano menyampaikan dan menyatakan kebulatan sikap kami atas keberadaan Proyek Geothermal Wae Sano.
I. KAJIAN ATAS SURAT REKOMENDASI KEUSKUPAN RUTENG 29 MEI 2021
Pada tanggal 29 Mei 2021 Keuskupan Ruteng telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada Presiden RI, berisikan rekomendasi untuk meneruskan proses proyek geothermal Wae Sano.
Tujuh bulan sebelumnya, Keuskupan Ruteng telah menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) dengan DirekturJenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber-Daya Mineral (ESDM), untuk mencari pemecahan menyeluruh yang muncul dari proyek tersebut.
Surat terbuka ini mempermasalahkan rekomendasi Keuskupan Ruteng, karena bagi kami warga Wae Sano, rekomendasi tersebut mengandung tiga masalah mendasar. Masalah pertama menyangkut isi surat rekomendasi, masalah kedua menyangkut cara yang telah ditempuh oleh pihak-pihak penyelenggara proyek, aparatus/petugas kantor-kantor pemerintah pusat/daerah, dan DPR/DPRD, dan masalah ketiga menyangkut diabaikannya risiko akibat-akibat nyata dalam pemberian rekomendasi tersebut.
a. Surat Keuskupan Ruteng tertanggal 29 Mei 2021 memberikan lampu hijau bagi penyelenggara proyek untuk melanjutkan "proses proyek geothermal Wae Sano untuk menyediakan energi listrik (butir 5 surat). Kami sebagai warga yang sejak awal usaha pelaksanaan proyek di tahun 2018 telah menolak keberadaan proyek menyatakan bahwa kami tidak pernah memberikan persetujuan agar para pemilik-kepentingan di balik proyek boleh melanjutkan tahapan eksplorasi proyek geothermal Wae Sano. Masalah lebih mendasar lagi adalah bahwa kami sebagai penghuni dan warga turun-temurun dari wilayah yang hendak ditambang panasnya itu tidak pernah meminta dan tidak membutuhkan tenaga listrik raksasa dan yang berisiko besar bagi keselamatan kami . Pada butir yang sama dikemukakan empat ciri dari tenaga listrik yang hendak dihasilkan dari proyek tersebut, yaitu "terbarukan", "ramah lingkungan", "menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Wae Sano", dan terakhir, "mengembangkan integritas ciptaan (ekologi) dan warisan kultural setempat". Walaupun kami rata-rata tidak
berpendidikan tinggi, dalam tiga tahun belakangan kami mempelajari seperti apa pembangkit listrik dari penambangan panas bumi beroperasi. Lebih jauh, kami mengamati dan mencatat dengan baik bagaimana pihak proyek termasuk kantor-kantor berbagai dinas pemerintahan bekerja.
Keempat kata-kata di atas tidak menggugurkan bahaya nyata dan dampak-dampak yang jelas-jelas akan terjadi jika proyek penambangan panas bumi ini dilanjutkan. Proyek geothermal Wae Sano tidak mungkin akan ramah lingkungan, selain bahwa pencemaran udaranya kemungkinan lebih kecil dari buangan pada pembangkitan listrik dengan batubara atau minyak dan gas bumi.
Bagaimana mungkin proyek geothermal yang dalam tiga tahun terakhir telah dikenali warga masyarakat sebagai proyek dengan berbagai disinformasi, bujuk rayu dan intimidasi disebut dalam surat rekomendasi sebagai "menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat"? Terakhir, warisan ingatan, sejarah tempat dan sejarah keberadaan manusia di wilayah Wae Sano, maupun keutuhan ikatan antar ciptaan Tuhan (ekologi) tidak akan mungkin direncanakan untuk "dikembangkan" melalui pelaksanaan proyek. Lebih masuk akal, kerusakan lah yang akan berkembang kalau proyek berjalan. Lantas, untuk kepentingan dan mewakili “apa” dan “siapa” pihak Keuskupan Ruteng mengeluarkan surat rekomendasi keberlanjutan proyek gothermal Wae Sano?
b. Proses pencarian "pemecahan menyeluruh" yang muncul dari adanya proyek geothermal Wae Sano. Dalam satu tahun terakhir kami warga Wae Sano telah ditempatkan sebagai OBYEK, bukan SUBYEK dari pencarian pemecahan menyeluruh tersebut. Pemecahan menyeluruh menurut kami jelas dan sederhana: batalkan proyek geothermal Wae Sano. Karena kami dianggap dan diperlakukan sebagai obyek yang harus "dipecahkan", maka "pemecahan teknis" yang keluar adalah jalan memutar, secara harafiah dan kiasan, yaitu dengan cara menggeser akses penyelenggara proyek ke wilayah yang hendak ditambang panas buminya, maupun titik-titik penting pengeboran termasuk Wellpad A.
Khususnya sejak penandatanganan MOU di antara Keuskupan Ruteng dengan pihak pelaksana eksplorasi yaitu Direktorat Jenderal EBTKE dan SMI, proses di lapangan sama sekali tidak dilaksanakan dengan rangkaian investigasi teknis tentang bahaya bahaya, risiko bencana, kemungkinan teknisreduksi risiko bencana tersebut, maupun mitigasinya. Bagaimana mungkin pemerintah atau pemilik proyek bisa menjamin keamanan proyek, bahkan sebelum proyek
berjalan, sementara di berbagai lokasi proyek serupa, kegagalan bahkan bencana terbukti bisa terjadi? Sebaliknya, keberatan dan penolakan kamilah yang direkayasa, dengan sebuah proses yang secara dominan dijalankan dengan pendekatan "jalur atas"/berbasis wewenang/kekuasaan,
bukan pendekatan pelibatan warga-masyarakat secara sejati.
c. Pertimbangan seluruh rangkaian akibat di sepanjang daur-hidup proyek geothermal. Pelekatan status proyek strategis nasional pada proyek-proyek industri termasuk industri energi dari
penambangan panas bumi justru membahayakan kelangsungan, martabat dan kualitas kehidupan bangsa. Kata nasional dalam PSN tidak mengacu pada kepentingan warga bangsa Indonesia di lokasi-lokasi yang hendak dibongkar bentang alamnya seperti dalam kasus proyek geothermal Wae Sano. Apakah proyek geothermal Wae Sano bersifat strategis dalam artian menguatkan ketahanan sosial warga masyarakat Flores termasuk warga Wae Sano, serta menjaga keutuhan dan kestabilan ekologis pulau Flores, atau justru melemahkan keduanya
dalam jangka panjang?
Di Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, misalnya, ekstraksi panas bumi yang berakibat pada kebocoran gas beracun di proyek geothermal PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) menyebabkan 5 orang tewas dan puluhan lainnya dilarikan ke
Rumah Sakit pada 25 Januari lalu. Tak lama setelah itu, kebakaran kembali terjadi di area proyek yang sama, menyebabkan sebagian besar penduduk mengevakuasi-diri. Dua tahunsebelumnya, tepatnya pada 29 September 2018, di area proyek itu, dua anak tewas-tenggelam
di kolam bekas penampungan perusahaan.
Di samping kasus Sorik Marapi, ekstraksi panas bumi yang membahayakan kehidupan, tanaman kerja-tani, penciuman, saluran nafas, paru-paru, rumah-tempat tinggal, bahkan hingga meregang nyawa, juga kita temukan pada kasus ledakan dan semburan gas di proyek PLTP Ijen
yang juga makan korban, dan semburan cairan panas bumi di proyek Rimbo Panti, yang kemudian digelontor langsung ke wilayah suaka-alam Rimbo Panti, Pasaman, Sumatera Barat.
Demikian juga dengan semburan gas dari sumur bor GeoDipa di kavling ekstraksi panas bumi Dieng yang telah berakibat langsung pada kehidupan dan nafkah tani warga. Hal serupa juga di Mataloko, tak terkendalikannya semburan gas di proyek ekstraksi panas bumi Mataloko telah
berdampak pada hancurnya lahan pertanian/perkebunan, sumber air, dan keroposnya atap sengrumah, hingga berakibat pada terganggunya kesehatan warga.
Selain itu, kegempaan/seismisitas picuan, yang tadinya diremeh-remehkan karena relatif kecil skalanya, sekarang menjadi salah satu fokus publik di seluruh dunia tentang risiko investasi ekstraksi panas bumi untuk pembangkitan listrik, terutama setelah proyek mercusuar Korea
Selatan yang baru saja diresmikan, yaitu ekstraksi panas bumi dengan teknologi EGS di Pohang, terbukti menjadi penyebab gempa bumi berskala 5.5 R di kota tersebut pada 17 November 2017. Setidaknya tercatat lebih dari 20 kasus gempa picuan di berbagai proyek
ekstraksi panas bumi di berbagai negara selain pada kasus proyek Pohang. Unsur-unsur picuan tersebut di atas juga menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan bagi keberlanjutan jangkapanjang dari proyek-proyek instalasi ekstraksi panas bumi sendiri, yang butuh investasi pembiayaan sangat besar, dan yang sulit untuk diatasi secara teknis–dan oleh karenanya menambah risiko kegagalan operasi– seperti korosi pipa bawah tanah dan komponen-komponen pembangkitan lainnya.
Proyek geothermal Wae Sano yang dipaksakan berjalan dengan adanya rekomendasi "silahkan
jalan" dari Keuskupan Ruteng, seperti menggadaikan keselamatan kami warga Waesano. Kami menilai proyek geothermal Waesano adalah sebuah kematian yang sedang dituturkan di depan.
Dengan demikian, klaim Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Keuskupan Ruteng, atau
perusahaan pelaksana proyek bahwa akan mampu mengatasi seluruh potensi bencana akibat
pelaksanaan proyek tersebut, adalah hal sangat tidak masuk akal dan penuh tipu muslihat.
II. MILIK SIAPAKAH PROYEK GEOTHERMAL WAE SANO, DAN SIAPAKAH PENGAMBIL MANFAAT UTAMA DAN KEUNTUNGAN DARI LISTRIK YANG HENDAK DIHASILKAN?
Pertanyaan ini sesungguhnya seharusnya menjadi landasan moral dan landasan asasi dari keberpihakan Keuskupan Ruteng pada umatnya dan pada keadilan serta keutuhan ciptaan Tuhan. Begitu pula, tidak sulit untuk mencapai kesimpulan bahwa proyek ini sejak awal tidak dimaksudkan sebagai tanggapan atas keberadaan dan keadaan kehidupan kami warga Wae Sano, melainkan merupakan turunan dari rencana-rencana pembangkitan listrik skala raksasa yang diputuskan dan bahkan didorong/diminta oleh pihak pemberi hutang khususnya, tetapi tidak terbatas pada, Bank Dunia.
Keberadaan kami sebagai yang punya rumah sendiri gagal dipertimbangkan sebagai pihak utama yang perlu dicantumkan dalam alamat tujuan dari Surat Rekomendasi Keuskupan Ruteng
No. 154/II.1/V/2021. Sebaliknya, Bank Dunia sebagai perusahaan multilateral industri keuangan justru dicantumkan sebagai si alamat. Sama sekali tidak ada uraian atau pertimbangan, apakah cerita proyek geothermal Wae Sano sesungguhnya adalah jawaban pasokan listrik untuk proyek atau proyek-proyek raksasa lainnya, termasuk proyek kawasan pariwisata Labuan Bajo/Komodo, atau rencana-rencana investasi industri lainnya di wilayah-wilayah lain di pulau Flores. Listrik yang hendak dihasilkan oleh proyek geothermal Wae Sano dengan demikian didudukkan sebagai "bermanfaat bagi kepentingan umum". Bagaimana dengan aliran keuangan dari proyek maupun dari penggunaan listriknya? Pertanyaan-pertanyaan penting dan mendasar ini tidak menemukan jawab dalam rekomendasi lampu hijau dari Keuskupan Ruteng.
III. KESIMPULAN DAN PENEGASAN SIKAP KAMI WARGA WAE SANO
Berdasarkan ketiga pokok pertimbangan pada butir I dan II di atas, kami menegaskan kembali sikap kami, yaitu menolak secara menyeluruh ADANYA proyek geothermal Wae Sano. Penolakan ini hanya punya satu arti, yaitu bahwa proyek geothermal Wae Sano harus batal, demi keselamatan kehidupan di bentang air Danau Sano Nggoang beserta seluruh kehidupan di sekelilingnya, yang wajib kami jaga, kami bela, dan kami pertahankan sampai akhir hidup kami. Kalau Pemerintah dan Gereja sama-sama bertanggung-jawab melayani manusia, maka keduanya hendaknya mengakui dan menghormati penolakan kami, demi keadilan, perdamaian
dan keutuhan ciptaan.
Pertama, mari kita sama-sama bersaksi, bahwa jika pihak Pemerintah–pada berbagai cabang dan tingkat pemerintahan– dan Keuskupan Ruteng, bersikukuh untuk melecehkan atau mengingkari keputusan penolakan kami terhadap proyek geothermal Wae Sano, berarti kedua pihak tersebut, beserta segenap jejaring perusahaan industri maupun keuangan dan perbankan di balik proyek, wajib bertanggungjawab atas segala akibat dari proyek pada kelestarian alam Flores, khususnya di wilayah yang direncanakan menjadi kawasan penambangan panas bumi.
Kedua, mari kita sama-sama bersaksi, bahwa kedua pihak tersebut, beserta segenap jejaring
perusahaan industri maupun keuangan dan perbankan di balik proyek, wajib bersedia dimintai pertanggung-jawabannya, apabila karena sikap tetap menolak adanya proyek ini, kami hendak disakiti baik lewat jalur hukum, kekerasan, pertentangan sesama warga, atau cara-cara lainnya. Selama tiga tahun terakhir, kami merekam dengan baik, bahwa sikap dan umpan-balik kami
sebagai warga turun-temurun di rumah kami yang hendak diperlakukan dan diubah menjadi kawasan industri energi justru telah ditanggapi dengan berbagai usaha melemahkan kekuatan dan persatuan kami sesama warga, termasuk lewat politik pecah-belah, intimidasi, maupun pengerahan oknum-oknum yang berasal dari atau berafiliasi dengan berbagai lembaga dari Jakarta.
Selama ini kami warga Wae Sano hidup tenang dengan kelimpahan anugerah alam yang menaungi kami. Irama kehidupan kami yang teratur sekarang hendak dibenturkan dan dirusak dengan kehendak menjalankan proyek yang serba harus jadi, harus segera, harus diterima apapun risikonya. Mohon perhatian semua pihak termasuk pihak Keuskupan Ruteng. Kamiwarga Wae Sano akan terus menjaga kehidupan damai dan tenteram yang kami warisi bergenerasi. Kami tidak bisa dipisahkan dari danau beserta bentang air, bentang alam perbukitan dan hutan yang mengitarinya. Sekarang atau nanti.
Wae Sano, 15 Juni 2021
Mewakili Masyarakat Wae Sano
Herman Hemat Mateldis Felni
Valentinus Emang Maria Y. Haul
Stefanus Juma Regina Tin