Renungan Harian Katolik Sabtu 7 Mei 2022 Pekan III Paskah
Bacaan: Kisah Para Rasul 9: 31-43; Yohanes 6: 60-69
Renungan Harian Katolik
DAMAI JALAN MENUJU PERKEMBANGAN
Suasana aman dan damai adalah kebutuhan hakiki manusia untuk hidup dan berkembang maju di dunia ini.
Tetapi bila ada kekacauan, kerusuhan atau peperangan pasti manusia merasa gelisah, cemas dan penuh ketakutan.
Dalam suasana gelisah, cemas dan takut, manusia tidak dapat hidup dan tidak dapat mengembangkan kehidupan. Bacaan pertama hari ini memberikan inspirasi bagi kita.
“Setelah beberapa waktu setelah Saulus bertobat, jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya semakin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus” (Kis 9: 31).
Dari bacaan suci ini, Saulus sebelum bertobat menjadi Paulus melakukan kekerasan terhadap para pengikut Kristus. Dia mengejar laki-laki dan perempuan di rumah-rumah untuk membunuh mereka dan memasukkan mereka di dalam penjara.
Tetapi sesudah bertemu dengan Yesus dia bertobat. Ia menjadi “alat pilihan” bagi Tuhan untuk memberitakan nama-Nya kepada bangsa-bangsa lain, kepada raja-raja dan orang-orang Israel (Kis 9: 15).
Sejak pertobatan Paulus itu, suasana damai dan aman muncul di mana-mana, sehingga umat terus bertumbuh dan berkembang.
Selain karena suasana aman dan damai, pertumbuhan dan perkembangan jumlah pengikut Kristus terus meningkat karena banyak orang melihat, menyaksikan dan mengalami mukjizat penyembuhan yang dilakukan oleh Petrus atas diri Eneas di Lida (Kis 9: 32-35).
Di samping itu, Petrus juga di Yope melakukan mukjizat pembangkitan Dorkas dari kematian. Dorkas terkenal amat baik, tetapi begitu menderita sakit dia langsung meninggal dunia. Banyak orang terutama para janda menangisi dan meratapi dia. Mereka memaggil Petrus untuk menghidupkan dia dari kematian (Kis 9: 36-42).
Dampak Damai Dalam Kehidupan
Kita membutuhkan kedamaian dan ketenangan, kerukunan dan toleransi dalam hidup bermasyarakat bukan hanya untuk menambah jumlah umat, tetapi terutama untuk kemajuan hidup dalam bidang apa saja.
Kehidupan pribadi, keluarga dan lingkungan, gereja dan masyarakat, bangsa dan Negara amat membutuhkan suasana aman dan nyaman, suasana tenang dan damai, suasana rukun dan bersaudara, suasana toleransi dan silahturahmi atau kunjung-mengunjung pada hari-hari raya keagamaan.
Setiap orang dapat bekerja dengan baik dan mencari peluang kerja dengan tenang dan leluasa, apabila tidak ada kekacauan, kerusuhan, demonstrasi berjilid-jilid dan peperangan.
Selain itu kita mesti membiarkan setiap orang untuk hidup dan berkembang dalam kebebasan bertanggung jawab untuk memeluk dan menghayati agama dan kepercayaan masing-masing.
Tidak ada penekakan atau intimidasi, tidak ada politisasi agama dan kepercayaan. Orang harus hidup menurut keyakinan dan kepercayaannya dengan gembira dan sukacita tanpa merasa takut akan diancam, ditekan atau diintip, disergap dan di ‘sweeping’ oleh penganut agama dan kepercayaan atau aliran-aliran tertentu dalam masyarakat.
Kita harus memberi ruang yang leluasa untuk menggunakan dan memaknai simbol-simbol keagamaan masing-masing seperti misalnya salib dan patung untuk agama Katolik.
Begitu juga dalam kalender umum nasional, amat toleran dan dialogis bila nama-nama hari besar atau hari raya ditulis sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
Sekedar contoh dalam agama Katolik, nama “Kenaikan Isa Almasih” mesti diubah menjadi “Kenaikan Tuhan Yesus” Atau “Wafat Isa Almasih mesti diganti dengan “Wafat Tuhan Yesus.”
Sikap toleransi dan respek terhadap keunikan masing-masing agama dan kepercayaan seperti ini memberi ruang gerak yang leluasa bagi setiap agama dan kepercayaan untuk bertumbuh dan berkembang bukan hanya secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif.
Agar semua niat dan tujuan yang baik ini dapat terwujud dan tercapai, setiap orang harus ‘bertobat’ seperti Rasul Paulus. Pertobatan terjadi apabila setiap orang menghentikan niat dan keinginan yang jahat, menyingkirkan rencana dan rancangan yang buruk serta menjauhkan dari manusia sikap dan perilaku yang tidak baik terhadap sesama.
Kekerasan sikap dan perilaku tidak boleh terjadi dan tidak boleh dibiarkan terjadi. Juga kekerasan mentalitas dan cara berpikir seperti terorisme atau fanatisme agama mesti dicuci’ dengan sabun rinso’ budaya kasih dan damai, budaya kerukunan dan toleransi, budaya silahturahmi dan budaya persaudaraan serta persahabatan.
Mukjizat Dalam Perkembangan Iman Dan Agama
Bukan hanya suasana aman dan damai, rukun dan bersaudara menjadi jalan bagi perkembangan umat perdana di Yudea, Galilea, Samaria serta di Lida dan Yope.
Tetapi juga mukjizat penyembuhan dari sakit dan kebangkitan dari kematian mendongkrak percepatan pertumbuhan jumlah pengikut Kristus.
Mukjizat apa saja pasti menjadi daya tarik yang luar biasa. Namun mukjizat bukanlah hal paling penting dan menentukan bagi perkembangan iman.
Mukjizat bukan urusan manusia, tetapi urusan Tuhan. Tentu amat bersyukur bila ada orang yang atas nama Tuhan dapat melakukan mukjizat.
Agama dan kepercayaan tidak bergantung kepada mukjizat, tetapi bergantung kepada iman. Iman tidak mesti bertumbuh dan berkembang berdasarkan mukjizat.
Mukjizat adalah tanda heran yang kelihatan dengan mata. Tetapi iman tidak harus lahir dari tanda heran, tetapi dari keyakinan tanpa syarat akan penyelenggaran Tuhan dalam hidup.
Kita tidak melihat Tuhan melalui tanda-tanda heran atau tanda-tanda ajaib seperti mukjizat, tetapi kita hanya meyakini Tuhan melalui iman dan kepercayaan yang teguh kepada-Nya.
Maka marilah kita membangun hidup kita bukan dengan mukjizat, tetapi melalui iman akan Tuhan. Kita memohon doa dan perantaraan Bunda Maria untuk selalu meneguhkan dan memperkokoh iman kita akan Tuhan di tengah pergumulan dan perjuangan sehari-hari.
Doaku dan berkat Tuhan
Mgr Hubertus Leteng.