'Demokrasi Kekerabatan' Warnai Pemberitaan Pembentukan Povinsi Baru
Belakangan muncul pendapat umum membentuk provinsi baru-daerah otonomi baru.Ada wilayah tertentu sudah terbentuk dan lainnya masih (ada perjuangan) memetakan wilayah di daerah untuk dijadikan provinsi baru.
Salah satu tujuan berdirinya daerah otonomi baru:bertekad menghalaukan ketidakadilan sosial dan kemelaratan yang mendera rakyat.
Pemerintahan provinsi baru juga akan bekerja berdasarkan sistem demokrasi.
Namun, kadang-kadang virus “demokrasi kekerabatan” tak teratasi tatkala tiba saatnya pemilihan langsung pasangan calon (paslon) pemimpin nomor satu atau pemilihan wakil rakyat di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Dan sesudah mendapat ‘kepercayaan’ rakyat sebagai “orang tertinggi pengambil kebijakan” di daerah otonomi baru, praktik mengutamakan korelasi famili dan tim sukses pemenang pemilu pun merebak.
Di satu sisi praktik politik merdeka terbelenggu dan potret suram reformasi semakin mencuat di sisi lainnya.
“Dari rakyat untuk rakyat”adalahpemahaman pertama kali akan munculketika kita mau mengenalarti leksikal demokrasi.
Tapi, penyimpangan praktik selalu mencoreng makna sejatinya.
Theodorus Willem Geldorp, biasa dikenal Romo Dick Hartoko, pada 9 Mei 1992, pernah mengedepankan: “Ide yang semula baik sekali, di kemudian hari kok, ya, diselewengkan”.
Kita tak mudah menyelesaikan distorsi yang terus menerus mewarnai politik di tanah air.
Aku pun tak punya siasat memberantas virus pengganggu ketahanan berdemokrasi.
Tapi, ada fakta dan telah menjadi“rahasia umum” bahwa pesta demokrasi ditandai tim sukses bersemangat relawan.
Mereka terbentuk untuk mendukung pasangan calon.Setelah menang maka ada semacam tuntutan imbalan “balas jasa”.
Apakah rekanda dan rekanita tim sukses dari famili beralam pikir terselubung merebut monopoli kekuasaan?
Kusimak hal tersebut sebuah prasangka buruk. Barangkali janji-janji dari paslon menggiringnya untuk ‘meminta jatah’. Relawan itu selalu menjadi terompet berupa yel-yel, pawai dan pidato mengedepankan sosok jagoannya di depan massa.
Dan tentang para relawan kucatat secuil kisah:
Pada mulanya relawan bergerak terdepan membawa kabari keunggulan calon kepala daerah
Janji menggugat daya juang
Janjimu di tepi kali mati tatkala lelah pulang pergi melintasi jembatan bambu menemui warga di kampung di bukit dan desa di punggung gunung terpencil
Jalan setapak berbatu nun jauh
Kadang lumpur becek sisa genangan air dilalui
Lorong-lorong gelap di sudut-sudut kota dijangkaui
Cibirandan hujatan mengumpat lawan politik diakali siasat percakapan-percakapan cerdik
Kerja keras cerdas
Ribut merebut suara pemilih
Akhirnya tiba di rumah bintang pemenang
Kini tiba membagi-bagi kursi jabatan
Takaran rekam jejak diusung ke meja paket pemenang
Aku pun tak mampu menyelinap masuk ke pertemuan-pertemuan tertutup
Sampai di sini kuakhiri kata-kataku ini dengan sepenggal cerita:
Michael Angelo seniman kesohor
Mau melukis perjamuan akhir Yesus bersama para muridNya Ia mencari sosok Yesus dan ia temukan lalu dibawanya ke studio ia melukisnya maka jadilah sebuah lukisan wajah Yesus.
Kemudian ia menggambarkan wajah murid-murid. Namun, agak kesulitan menemukan sosok yang bakal jadi Yudas.
Ia pergi menemukan warga sekitar tapi tak ada yang cocok. Ia terus mencari. Dibutuhkan waktu yang lama.
Suatu kesempatan ia menemukan seseorang yang sedang diadili di ruang sidang di pengadilan.
Ia memintanya untuk dijadikan Yudas. Ia membawanya ke studio. Ia mulai melukis wajah sebagai Yudas.
Sementara melukis tiba-tiba ia meneteskan air mata di pipinya. Michael bertanya mengapa Anda menangis?
Ia mengatakan: pernah saya dilukiskan sebagai wajah Yesus di studiomu ini. Tapi mengapa saat ini dilukiskan sebagai wajah Yudas? (Benediktus Kasman Pegiat Sosial, tinggal di Maumere)*