Disko, Menjadi Penetrasi Kultur yang Cepat Bagai Angin Badai -->

Header Menu

Disko, Menjadi Penetrasi Kultur yang Cepat Bagai Angin Badai

Minggu, 10 Juli 2022

"Lelaki tua diam seribu bahasa. Ia bergumam gelisah akan penetrasi kultur yang cepat bagai angin badai "


Kini seni tari disko merajai pesta di mana-mana baik warga kota maupun masyarakat pedesaan. Tanpa disko terasa hambar.

Dengan berdisko keadaan pesta menjadi sukacita yang menyenangkan.

Setiap kali pesta diadakan maka salah satu acara adalah sidang undangan akan diajak menari disko.

Para penggemar disko bergoyang berpapasan menampilkan gerak-gerik tangan, badan meliuk dan kaki berjingkat.

Tampaknya serba harmonis, walaupun kadang gerak-gerik kecil ada kesan sensual erotisme.

Dalam disko massal, yang menjadi juragan ialah dirinya sendiri.

Dia yang memimpin, dia yang menari, dan dia pula yang menghentikan gerak-geriknya. Tampaknya serba harmonis.

Ia menari dengan seluruh perasaannya, seluruh jiwanya.

Musik rock menggugah perasaan para tamu penggemar disko.

Orang-orang tua, pemuda milenial dan anak-anak beramai-ramai asik berjingkrak-jingkrak sampai-sampai ada otot-otot yang kejang.

Bahkan keadaan pesta berlangsung disko hingar bingar.

Bergembira ria hingga berkeringat membasahi kening, leher dan punggung.

Lampu sorot berwarna-warni memusingkan.

Suara musik disko kedengaran bergema menirukan bunyi kaleng rongsokan, kicauan burung, tiupan angin, terpaan badai, mobil ambulans, bunyi peluit bercampur baur dengan bunyi deruan pesawat supersonik.

Kira-kira itulah musik disko dari hasil perpaduan lagu dengan kumpulan bunyi dan suara tiruan.

Kolaborasi simfoni nan akur menggetarkan sukma.

Rasa-rasanya, disko sedang mengambil alih satu dua nilai-nilai dari kebudayaan formal.

Beberapa nilai budaya formal dibawa ke dalam ruang pesta yang agak acak-acakan.

Nilai kebudayaan rock diambil kemudian dialihkan ke disko.

Kita menerima hasil kreasi di bidang musik yang satu ini.

Tapi,pikiranku bergolak. Barangkali seni budaya rock seakan hadir mengusung nilai-nilai ‘pemberontakan’ terhadap orang tua, para pihak mapan, dannilai-nilai sosial yang banyak membatasi.

Disko sudah merambah ke segala lapisan sosial masyarakat di nusantara ini.

Ia telah lama menerjang masuk menjebol sekat pagar kebudayaan lokal.

Kita menikmati kumandang musik disko tak hanya di pestatapi juga di rumah-rumah penduduk, di asrama-asrama siswa-siswi dan indekos-indekos mahasiswa-mahasiswi.

Malahan di kota-kota besar dan beberapa kota-kota kecil sudah berdiri tempat spesial disko.

Tapi, disko berfasilitas bisnis untuk memperkerjakan orang dan menjadikan salah satu sumber pundi-pundi pendapatan.

Selain disko juga ada joget, dangdut dan dansa (dansa bermula dariseni tari tango milik rakyat Argentina).

Tari-tarian lokal-daerah pun tak ketinggalan dibawakan dalam memeriahkan pesta.

Semuanya bermaksud menghibur diri sendiri, para penonton, keluarga dan ‘yubilaris’.

Sesekali hadirin menertawakan goyangan kocak dari penggemar tari tertentu atau sekelompok anak kecil menari-nari “aneh” bikin suasana menggemparkan.

Sejenak, aku menerawang pada sosok kakek dan nenek yang menyaksikan disko.

Lelaki tua diam seribu bahasa.

Ia bergumam gelisah akan penetrasi kultur yang cepat bagai angin badai.

Aku mereka-reka gumamnya:

Cucu-cucuku

Aku lupa mewariskan pepatah dan petitih bertahan pada budaya sendiri dari nenek moyang

Aku terlampau pongah mengajarkan elan zaman edan

Aku lekas tenggelam dalam arus gelombang kejutan-kejutan kultur baru

Tapi aku tak tahu cara meramu jawabannya

Aku hanyasalah satu kaum dari kumpulan orang yang selalu gagap menampik perubahan zaman.

Ah, aku terlampau idealis, ambisius, tapi kadang munafik. Ternyata kultur manusia tak selamanya statis.

Nietche pernah mengingatkan: “Manusia adalah makhluk yang belum berbentuk. Ia tak henti menciptakan dirinya dan dunianya.

Manusia bukanlah makhluk natural melainkan insan kultural” (Benediktus Kasman, Pegiat Sosial, Tinggal di Maumere)