Guru Kontrak yang 'Tergantung Pemangku Kebijakan', Bernilaikah Kucuran Keringat di Dahinya Saat ini?
(Foto: Benediktus Kasman)
Perbincangan itu persis di tengah krisis kesehatan-Covid-19 dan ancaman bakal krisis pangan.
Kebijakan solusi dari negara atas nasib para guru menuai protes keras.
Tapi, kemudian keadaan biasa-biasa saja dan meredup.
Tanggapan publik sebatas omongan antar sesama saja.
Ya... itu kan urusan korban dan pemangku kebijakan.
Sesungguhnya keberpihakan pada para guru menjadi bagian melekat erat dengan pendidikan kita saat ini.
Mungkinpemikiran kita agak berbeda dengan pandangan penyelenggara dari bangsa lain.
Di beberapa negara di bawah kolong langit ini memerhatikan pendidikan termasuk guru-gurunya dengan amat serius.
Konon, saat Jepang kena korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Perdana Menterinya bertanya: "ada berapa guru diselamatkan,".
Alasan dibalik pertanyaan tersebut bahwa mereka yang tersisa itulah yang akan mendidik bangsa Jepang.
Guru-guru segera diselamatkan. Dan itu terbukti: Pasca bom atom Hiroshima dan Nagasaki-perang dunia kedua sangat maju.
Heran! Bagaimana kerja-kerja memajukan pendidikan dari kebangkrutan gara-gara perang?
Negeri Matahari Terbit melahirkan strategi ‘mengawinkan’ teknologi dan ilmu pemikiran global dengan tradisi dan budaya.
Anak-anak usia dini, taman kanak-kanak dan sekolah dasar berkonsentrasi pada pendidikan karakter (kerja keras, jujur, berani berpendapat, mandiri dan hormat). Dan setelah itu berkonsentrasi pada ilmu matematika, sosial dan sains.
Dari dunia lain tak sepi menggugat pendidikan warganya.
Mantan Perdana Menteri Inggris, Theodore P. Roosevelt bilang “to educate a person in the mind but not in moralsis to educate a menace to society; mendidik seseorang dalam pemikirannya tetapi tidak didik dalam moralnya sama saja mendidik penjahat untuk masyarakat”.
Dan Martin Luther King, pejuang hak azasi bagi warga kulit hitam di Amerika Serikat mengusulkan “Kepandaian ditambah karakter- itulah tujuan pendidikan yang sebenarnya intelligenci plus character- that is the true goal of education”
Sudah ada warga kita pun ikut merasakan pendidikan di negeri seberang nun jauh dari nusantara.
Mereka berhijrah melang lang buana menggeluti studinya di manca negara.
Aku tak tahu sudah berapa orang meraih kesuksesan di perantauan.
DariPresiden RI Joko Widodo pada 19/8/2016 mengatakan “ada 74 profesor asal Indonesia bekerja di Amerika Serikat.
Belum ratusan doktor bekerja di Korea, Australia dan Jerman”.
Tentu ada banyak variabel mengapa pendidikan kita berbeda dengan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Mungkin salah satu pilihan adalah kegiatan melakukan riset partisipatif-melibatkan masyarakat dan komunitas akademisi dan jangan lupa para guru.
Oo...niscaya telah diapreseasi negara kita
Omongan seputar pendidikan toh tak akan berakhir. Kalau pun ada, tak mungkin dituruti.
Tapi, aku hanya mengagumi kerja-kerja kreatif para guru dengan kucuran keringat di dahinya.
Guru...guruku
Sudah berapa lama berdiri di ruang ini
Berapa hari
Berapa minggu
Berapa bulan
Berapa puluh tahun
Bicara dan tautan tauladanmu saling terkait
Guru...guru... di sini terus saja begitu
Apakah engkau punya ilmu-ilmu dan peradaban dari barat dari timur dan dari selatan ataukah dari utara
Guru...guruku...
Mengocok kocok akal di tempurung kepalamu
Mengaliri ilmu
Seringkali anak-anak tercampak di selokan peradaban cara instan tajamkan ingatan
Suara mereka gagap tapi mengandung tuntutan pemerdekaandari ilmu-ilmu budaya bisu
Bicara mereka gugup tapi menyuarakan kedaulatan akal sehat
Meskipun temperamen mereka gampang sakit perut
Gampang sakit kepala
Kadang suara tinggi
Kenapa itu terjadi
Toh tak tahu darimana datangnya
Bahasa mereka sukar kita terka
Guru...guruku...
Aku hanya merumuskan kata-kata
Sebagai syair kagum pada daya tahan sehelai jiwamu
yang sudah meruang dan mewaktu
Ssst...aku diam
Wahai guru aku Memujimu dengan syairku ini dari zaman ke zaman. (Benediktus Kasman, pegiat sosial, tinggal di Maumere)*