Bukit Cinta dengan Seribu Keindahan, Hip Hip Hura Hidup! -->

Header Menu

Bukit Cinta dengan Seribu Keindahan, Hip Hip Hura Hidup!

Sabtu, 27 Agustus 2022

 Bukit Cinta dengan Seribu Keindahan, Hip Hip Hura Hidup!


(Foto: Bukit Cinta/Benediktus Kasman)


Seru-seruan sorak senang saat menginjakkan kaki untuk pertama kali di Bukit Cinta.


Berpose dan selfi segera menjadi kesibukan perdana.


Sejenak berpikir-pikir: apakah nama bukit ini bercerita nostalgia asmara? Ada apa dengan kata cinta?


Apakah singkatan dari permenungan mengisahkan panorama alamnya?


Sukar merangkai kepingan riwayatnya bahwa cinta mengawali sejarahnya.


Namun, tempat ini dapat mengenal sisi lain tentang Labuan Bajo.Pemandangan mencengangkanpara tamu.


Panorama alammenawarkan banyak kesan pada mata pengunjung.


Mungkin bukit bernama cinta singkatan dari cantik, indah, natural, tenteram, asri.


Akronim cinta korelasi antara kata dan kenyataan. Faktanya tergambar pada detik-detik pantauan ke segala arah pandangan di atas puncak.


Menatap ke utara tampak rentetan tanjung membelah laut dan untaian teluk menepi di cadas daratan.


Hutan bakau tumbuh tegar bertahan memecah gelombang pasang air laut.


Kelihatan terang ruas jalan beraspal hotmix penghubung dari kota Labuan Bajo menuju pelabuhan laut PELINDO.


Di timur bukit-bukit kecil ditumbuhi rerumputan kering. Dan merunduk ke barat tampak pulau-pulau kecil.


Kapal-kapal nelayan lagi tak berlayar.


Terapung di bentangan air laut tak berombak deras.


Ada pohon-pohon lamtoro hidup menutupi lereng dekat bibir pantai.


Suguhan bentangan segala sesuatudi sini merupakan buah karya nan ajaib alami. 


Berwisata di puncak ditemani rerumputan liar berwarna kuning mengering lusuh tapi, ditimpa hujan bakal segar kembali.


Mencapai puncak denganberkaki.


Berjalan melewati jalan setapak.


Kadang kaki berpijak di batu-batu alam yang kokoh.


Barangkali ‘ribuan kaki’ insan dari berbagai kampung dan kotatelah berlangkah. 

Telapak kaki suku-suku bangsa asing pun datang demi memanjakan mata.


Memang udara panas membekap perjalanan dari kaki bukit.


Aroma keringat dingin membasahi kening dan menembus baju dan celana. Namun, angin menerpa hingga tak berpeluh.

 

Pemilik bukit belum berinovasi.


Siapa saja ‘welcome’.


Menikmati dengan bebas tanpa hambatan.


Tak ada ‘birokrasi’ seperti tempat-tempat wisata konvensional.


Belum ada pondok dan kafe.


Tidak ada urusan tiket masuk.


Juga kakus belum dibangun.

Segalanya dinikmati pordeo.


Kukira tuannya masih mendekap kuat paham makna fungsi sosialtentang tanah sehingga siapa saja boleh mengambil kesempatan bertamasya di Bukit Cinta. (Benediktus Kasman)