Komodo dan Pengetahuan Manusia yang Ambisius -->

Header Menu

Komodo dan Pengetahuan Manusia yang Ambisius

Sabtu, 20 Agustus 2022

 Komodo dan Pengetahuan Manusia yang Ambisius


Komodo dibawa para pakar hewani keluar dari  habitat hariannya. Ia dipindahkan ‘ke kampung lain’.


Di luar sana komodo hidup dilingkungan yang serba baru. Ia tak lagi melewati masa hidupnya di alam bebas seperti kawanan lainnya.


‘Peristiwa kelahiran dan kematian’ pun dihadapinya di alam yang lain sama sekali


Mengapa ada pemikiran yang amat berani memindahkan komodo?


Salah satu pertimbangan nan bijak dari ilmuwan agar hewan langka itu tak punah.


Tekad kuat untuk dipelihara atas cara pengetahuan manusia.


Sebelum memutuskan untuk ditempatkan di lokasi khusus niscaya diadakan kajian-kajian beberapa ahli dari suku bangsa tertentu di planet bumi ini.


Penelitian berkali-kali apa kebutuhan hidup dan bagaimana taktik mengembangbiakan satwa varanus komodoensis pun sudah pasti dikerjakan.


Termasuk segala ‘alam buatan’ disiapkan untuk dapat ia hidup tak ada lagi kesangsian.


Mungkin aku terlalu arogansi bila imajinasiku agak cukup menyangsikan pembuktian pengetahuan akademik pakar yang sudah sukses memindahkan dan mampu menggandakan komodo.


Kecemasan tak beralasan bikin gegar imajinasiku. Imajiner akal merong rong keras.


Aku membayangkan tak semua kehidupan komodo dimengerti sepenuhnya dari sudut pandang ilmu pengetahuan.


Mengenal komodo tak cukup dengan pendekatan tertentu saja.


Aku bercakap-cakap sendiri sambil bertanya apakah ada hal lain ikut andil dalam sejarah panjang kehidupan komodo.


Mengapa hanya ada di pulau Komodo dan Rinca?


Pertanyaan ‘kekanak-kanakan’ lain lagi terlintas mengapa tak sepasang komodo pun terjebak berpindah di salah satu pulau di antara 40-an pulau lainnya yang ada diperairan laut di Labuan Bajo dan sekitar Manggarai?


Atau pertanyaan awam pengetahuan: mengapa tidak dipindahkan satu dua pasang di daratan Labuan Bajo?


Mungkin pengetahuan kita belum ada link dengan pengetahuan komunitas manusia yang berdampingan dengan habitat komodo.


Tapi,apakah pengetahuan kearifan lokal tradisionaldapatmenjadi penghubung dengan pengetahuan akademik modern.


Apakah kita mau melakukan sebanyak mungkin menggali tak henti pengalaman penduduk setempat?


Aku tak berkompeten untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan liar yang bersarang pada imajinasiku.


Bagiku ada dua kesangsian baru dari kerja-kerja intelektual manusia atas komodo.


Pertama, ratapan melintang tak mampumenahan‘nasib’ Empo Waja-leluhur buaya darat.


Komodo memiliki tingkah keperihan ketika diasingkan dari kawanannya:


Bengt go weta geong

Hoos de ga meka tadang

Mai lada ga ali manga rajan


Bengt ga

Toe manga ga

Raes kawe hae

Rasung hoo ga

Toe ita weta ge

Bengt de ga


Lako ko toe hau sili nanga

Ngo raes kawe wae

Bengt de ga

Bengt de go


Selamat berpisah saudariku tersayang

Tibalah saatnya menjamu tamu dari nun jauh seberang

Datang menjumpaimu oh... ternyata berniat menjemputmu dibawa pergi


Kita tak jumpa lagi

Tiada berkawan bersama-samalagi

Ketimpa sialpilu menyayat rasanya

Tak akan bersamamu lagi


Apakah kau akan bersama kembali di mulut muara kali

Bersama menemani pergi menemui air di kali

Berpisahlah sudah

Tak akan bersamamu lagi


Kedua, keprihatinan manusiaakan kepunahan satwa lantas diselamatkan di lokasi khusus.


Apakah solusi itu mampu membuahkan regenerasi komodo? Dengan segala hormat aku tak menjawabnya. Aku mohon beribu maaf.


Aku hanya berkemampuan menuturkan dongeng tentang bagaimana sekawan kera menolong ikan-ikan di kala sungai meluap karena kebanjiran air hujan.


Suatu waktu beberapa kera menyaksikan banyak ikan meloncat-loncat di permukaan air sungai yang lagi banjir.


Melihat peristiwa itu kera tergerak rasa ingin sekali mau menolong agar ikan-ikan tidak mati karena terbawa arus banjir yang deras.


Lalu, mereka bersepakat untuk selekasnya turun menyelamatkan ikan dari bahaya banjir.


Ikan-ikan yang berenang loncat di sepanjang bibir sungai ditangkap kemudian dikumpulkan di daratan.


Untuk sementara ikan masih bertahan hidup. Kera merasa berhasilkarena tekad menolong ikan dari bencana banjir terlaksana.


Namun, tak lama berselang semua ikan ditemuinya telah mati.


Kera pun kesal. Dari perbuatan itu baru diketahuinya bahwa ikan-ikan biasa bertingkah loncat melompat ke hulu melawan arus atau berenang terbawa arus air banjir.


Kera menolong berniat menyelesaikan masalah tapi menuai masalah baru karena merujuk pada habitatnya. (Benediktus Kasman, pegiat sosial, tinggal di Maumere).**