Sunset di Puncak Waringin, Paradoks antara Kenyataan dan Nama -->

Header Menu

Sunset di Puncak Waringin, Paradoks antara Kenyataan dan Nama

Minggu, 11 September 2022


SUARAKARUMPUT.COM - - Sunset di puncak waringin paradoks antara kenyataan dan nama.
(Foto: Sunset di Puncak Waringin/Benediktus Kasman)


Wisatawan dan mungkin petualang sudah mulai ramai.



Mereka berdiri sepanjang trotoar rabat semen.



Kendaraan travel dan speda motor berparkir di tepi ruas jalan beraspal mulus.




Tak terjadi kemacetan lalulintas.




Sempat terbaca waktu setempat dari layar handphone menunjukan pukul 15.30 saat tiba di spot sunset.




Grup kami ada 8 orang.




Mengambil tempat masing-masing mendekati pagar pengaman.




Berbaur dengan hadirin berdiri sambil mondar-mandir mengobrol di alam terbuka tanpa naungan.




Lalu apa artinya Waringin?




Biasanya setiap tempat bernama mencerminkan habitat.




Merujuk literatur botani: Waringin adalah pohon beringin.




Mungkin di masa silam tempat ini pernah hidup pohon-pohon beringin.




Tapi, kini paradoks antara kenyataan dan nama.




Sebab pohon beringinnya tak ada lagi.




Do you know it’s so famous here?-Tahukan Anda, tempatcini terkenal di sini?




Kutatap ke bawah menyaksikan barisan bangunan dan pulau-pulau.




Pelabuhan dermaga dan perairan dipadati kapal-kapal dan speed boat.




Tak tahu entah berapa banyak jumlah transportasi laut yang ada di teluk Labuan Bajo.




Semuanya bisu karena kejutan kenaikan harga tiket destinasi pulau Komodo.




Namun, masih tetap siap menyambut tamu yang bakal memerlukan jasa pelayanan penyeberangan.




Menatap perubahan wajah pelabuhan sontak ingatanku terbawa ke masa lalu.




Di pelabuhan tua inilah ‘pintu masuk’ wisatawan dari Nusantara dan Asia serta Eropa.




Semula kampung Ujung dan kampung Air mengitari pelabuhan.




Membentuk jantung pemukiman warga lokal.




Terperangah melihat riuh pelabuhan. Tamu mister dan misis bukan lagi musuh, melainkan mitra. Kedatangannya disambut dengan baik.



Dan di kemudian hari nama Labuan Bajo selalu disebut-sebut karena Varanus Komodo objek turisme.




Inilah yang menjadi kenangan dan senantiasa diingat.




Namun, ada kenangan menarik lain adalah sunset. Matahari di saat senja berpisah semalam disaksikandi tanah ini.




Peristiwa matahari terbenam sering memanggilinsan datang melihat kepergiannya menjelang malam tiba.




Perpisahan hariannya diiringi angin mendesir dariantara belukar lamtoroyang luput dari penebangan di sana.




Langit biru menghilang di atas sana. Laut melepaskan warna hijaunya disini.

Matahari pergi jauh ke barat menjelang selamat malam tiba.




Cahaya warna-warni diantara dedaunan melayang pergi.




Ketika remang-remang tiba maka para nelayan berperahu layar dari bibir pantai pergi mengail ikan yang ditunggu datang tak menentu di tengah lautan raya.




Berkelana di laut lepas tak merobohkan daya juang.




Keyakinannya bahwa leluhur nenek moyangnya turut menuntun.




Karena itu batinnya terus menerus berdentang:




Ya, leluhur tuntunlah aku ke Wujud Tertinggi yang terlalu tinggi




Dari ujung bumi aku berseru




Dari ujung matahari terbit




Dari ujung matahari terbenam. (Benediktus Kasman).***